Студопедия
Случайная страница | ТОМ-1 | ТОМ-2 | ТОМ-3
АрхитектураБиологияГеографияДругоеИностранные языки
ИнформатикаИсторияКультураЛитератураМатематика
МедицинаМеханикаОбразованиеОхрана трудаПедагогика
ПолитикаПравоПрограммированиеПсихологияРелигия
СоциологияСпортСтроительствоФизикаФилософия
ФинансыХимияЭкологияЭкономикаЭлектроника

KYUHYUN’S POV

Kyuhyun’s POV | KYUHYUN’S POV | KYUHYUN’S POV | KYUHYUN’S POV | KYUHYUN’S POV | KYUHYUN’S POV | KYUHYUN’S POV | KYUHYUN’S POV | KYUHYUN’S POV | KYUHYUN’S POV |


Читайте также:
  1. KYUHYUN’S POV
  2. KYUHYUN’S POV
  3. KYUHYUN’S POV
  4. KYUHYUN’S POV
  5. KYUHYUN’S POV
  6. KYUHYUN’S POV
  7. KYUHYUN’S POV

Aku menatapnya tak percaya. Bisa-bisanya Tuhan menciptakan gadis secantik ini! Begitu rupawan, mempesona, sekaligus berbahaya.

Aku masih terperangah menatapnya. Sama sekali tidak berkedip. Gaun putih itu membalut tubuhnya dengan sangat sempurna. Rambutnya entah bagaimana menjadi ikal dan tergerai indah di punggungnya. Aku benar-benar tidak bisa mendeskripsikan dengan tepat betapa cantiknya dia.

Dia tersenyum gugup menatapku. Berdiri dengan gelisah.

“Ji-Yoo bilang kau menyuruhnya menjemputku. Ada apa?”

Aku mengernyit heran. Choi Ji-Yoo. Pantas saja.

“Aku tak pernah…. Kau ini bodoh sekali! Bisa-bisanya percaya padanya. Ini sudah jam 11 malam, Na~ya. Aku bukan orang gila yang menculikmu malam-malam begini!”

“Ya sudah, aku bisa pulang!” ujarnya dingin kemudian berbalik pergi. Tergesa-gesa aku mencekal tangannya.

“Kau mau pulang pakai apa?”

“Taksi,” ucapnya ketus.

“Tadi kau kesini pakai apa?”

“Taksi.”

“Masuklah. Nanti aku antar pulang.”

“Sepertinya kau tidak suka aku kesini mala mini. Kenapa kau berdiri menjauhiku seperti itu?” protesnya.

Aku memang mengambil jarak sejauh mungkin darinya, pasalnya, dia benar-benar menggoda malam ini.

“Aku tahu apa isi otakmu, Na~ya.”

“Dasar curare sialan!” umpatnya, lalu melangkahiku masuk ke dalam rumah.

Dia menghempaskan tubuhnya ke atas sofa dengan tangan bersedekap di depan dada. Aku nyaris tergelak saat melihatnya masih menatapku marah dengan bibir terkatup rapat.

“Maaf,” bisikku di telinganya. Bibirku menjelajahi setiap jengkal wajahnya, kecuali bibir tentunya.

Aku mendengarnya mendesah, begitu lega menyadari bahwa dia tidak kesal lagi padaku. Aku menyurukkan wajahku ke lehernya, menghirup aromanya dalam-dalam.

“Kau harum sekali,” gumamku.

“Mood-mu cukup baik malam ini,” timpalnya.

“Cukup baik sampai aku tidak bisa kehilangan akal dan menciummmu.”

“Kau benar-benar namja paling menyebalkan sedunia!” desisnya.

“Oh, terkutuklah aku!” ratapku sambil mengecup pipinya sekilas.

“Tapi sialnya aku malah tergila-gila padamu.”

“Sudah semestinya,” kataku, tersenyum lalu menatapnya lekat-lekat.

“Kau mau melakukan apa malam ini?” tanyaku sopan.

“Kau tahu.”

“Jangan aneh-aneh. Aku kan sudah bilang akan menciummu tiga bulan lagi.”

“Tapi itu lama sekali, oppa!” protesnya.

“Sebenarnya kau ingin menyelamatkanku atau hanya ingin merasakan bagaimana rasanya berciuman denganku?” selidikku.

“Dua-duanya,” akunya jujur.

“Kau tak akan sempat merasakannya Na~ya, karena saat aku menciummu nanti, kau hanya akan merasakan sakit yang amat sangat.”

“Ya sudah, tidak masalah.”

“Kau benar-benar keras kepala!”

“Aku merasa sangat tersanjung,” ujarnya acuh.

Aku mengelus rambutnya, merasakan kelembutan helai-helainya di jariku.

“Bagaimana kalau malam ini kau bercerita tentang perasaanmu saja?” pintanya.

“Baiklah. Kau yang tanya aku yang jawab.”

Dia berpikir sesaat.

“Kau bilang ada 1% hal di atas dunia ini yang tidak bisa kau lakukan sendiri dan membutuhkan bantuanku. Apa itu?”

“Hidup,” ujarku ringan. “Aku tak bisa hidup tanpamu.”

Aku tersenyum saat melihat wajahnya memerah.

“Ngomong-ngomong, terima kasih karena kau berada di dunia ini.”

Dia mengernyitkan keningnya heran. Tidak mengerti dengan maksud ucapanku.

“Karena kau berada di dunia ini, aku jadi bisa melihatmu, mengenalmu, menyentuhmu, sekaligus mencintaimu. Aku memang sedikit egois. Tidak seharusnya aku mendekatimu. Aku adalah orang yang akan merenggut nyawamu. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak mungkin tidak jatuh cinta padamu. Apapun caranya, semua yang ada di dirimu tidak mungkin gagal membuatku jatuh cinta. Jadi aku menyerah.”

“Tapi paling tidak seharusnya aku bisa mencegahmu jatuh cinta padaku. Sampai aku bertemu denganmu, aku tahu harusnya aku menahan diri, dan percayalah aku mencoba, tapi tetap saja tidak bisa,” keluhku.

Dia melongo menatapku, membuatku sedikit tak enak hati.

“Selama aku bicara, tolong berusahalah agar tetap bernafas. Aku tidak mau kau mati tiba-tiba,” pintaku.

Dia terkesiap dan mengangguk malu.

“Pertanyaan berikutnya?”

“Seberapa besar kau… mencintaiku?” tanyanya ragu.

“Ng… bisa dianalogikan begini, cintaku sudah terlalu besar sehingga sudah tidak mungkin lagi bagiku untuk semakin mencintaimu, karena semua cinta yang aku punya sudah kuhabiskan untukmu. Aku mencintaimu setiap detik, sampai-sampai aku tidak bisa apa-apa tanpamu. Aku bersedia merelakan semua hari dalam hidupku untukmu…. Sekarang, apa kau sudah cukup mengerti seberapa berharganya kehadiranmu dalam hidupku?”

Dia menarik nafas dengan susah payah.

“Oppa, kau bisa membuatku gila!” protesnya.

“Maaf.”

Dia mengangguk pelan.

“Kenapa kau lebih memilih aku, si itik buruk rupa, daripada Eun-Ji, yang bidadari sekalipun mungkin akan merasa maalu jika berada di dekatnya?”

“Babo! Bukankah aku sudah bilang kalau aku hanya bisa melihatmu saja? Apa lagi yang harus kujelaskan?”

“Kau memang sudah buta, oppa!” ejeknya, tapi senyum bahagia tersungging di bibirnya.

“Nanti kalau kau jadi manusia, kau….”

Kau tahu tidak? Dengan membuatku membayangkan bagaimana hidupku kalau tidak ada kau di dalamnya saja kau sudah membuatku menderita, Na~ya.”

Tiba-tiba saja dia menyentuh wajahku dengan tangannya yang lembut, membuatku terkesiap.

“Kau sudah terlalu banyak bicara, oppa. satu kata lagi aku benar-benar bisa kehilangan akal sehat.”

“Kau boleh bicara kalau kau mau.”

Dia tersnyum, membuat mataku terkesima.

“Hanya mau bilang terima kasih. Mungkin kedengarannya seperti basa-basi, betapa bersyukurnya kau di sisiku. Membuatku sadar, kalau sampai aku kehilanganmu, aku mungkin tak punya kekuatan untuk bernafas lagi.”

 

***

 

HYE-NA’S POV

Aku melirik jamku sekilas. Waktunya sudah tiba. Walau masih sedikit pusing karena kata-kata Kyuhyun tadi, aku berusaha fokus untuk mulai merayunya. Jam 12 lewat 1 menit sekarang.

Sedikit rikuh, aku mendorong tubuhnya sampai berbaring di atas sofa. Bersikeras, walaupun tangannya mencengkeram bahuku.

“Apa-apaan kau?” seruku marah.

Aku hanya diam. Menelusupkan tanganku ke dalam rambutnya, lalu berbaring di atas tubuhnya, mengenyampingkan rasa Maluku.

“Jangan macam-macam, Na~ya,” ujarnya gelagapan.

Dan sedetik kemudian tiba-tiba saja posisi kami berubah. Dia yang menindihku sekarang, membuatku berkonsentrasi untuk mengingat bagaimana caranya bernafas dengan tepat.

“Kau benar-benar berbahaya malam ini.” Dia menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan keberanianku.

Mencoba peruntungan terakhir, aku menarik tubuhnya merapat ke arahku. Sesaat dia seakan terbawa suasana. Hatikun sudah tertawa senang saat dia mendekatkan wajahnya dan memiringkan kepalanya perlahan, tapi ternyata dia hanya mengecup sudut bibirku. Curare brengsek!

“Sudah waktunya pulang, Na~ya,” ujarnya sambil nyengir jahil.

“Bagaimana kalau aku tidak mau pulang?” ancamku.

“Bisa-bisa aku menidurimu tanpa menyentuh bibirmu sedikitpun tentunya,” katanya dengan tampang serius.

“Brengsek kau!” teriakku kesal.

 

***

 


Дата добавления: 2015-11-14; просмотров: 47 | Нарушение авторских прав


<== предыдущая страница | следующая страница ==>
KYUHYUN’S POV| KYUHYUN’S POV

mybiblioteka.su - 2015-2024 год. (0.013 сек.)