Читайте также: |
|
“Memangnya kau punya orang tua?” tanyanya tiba-tiba saat mobilku sedang melaju kencang di jalan raya.
“Tentu saja. Kau pikir bagaimana caranya aku dilahirkan? Langsung muncul tiba-tiba, begitu?” candaku.
“Tapi bukannya orang tuamu tidak bisa melihatmu?”
“Maksudku orang tua angkat.”
“Orang tua angkat?”
“Curare yang mengubahku. Dia sudah kuanggap seperti ayahku sendiri.”
“Kau tidak membencinya?”
“Tidak. Tentu saja tidak. Kau tidak tahu bagaimana dulu dia memohon ampun kepadaku setiap hari karena dia telah menjadikanku monster. Aku tidak keberatan dengan keadaanku ini sebenarnya. Semuanya kan sudah ada yang mengatur.”
“Oh, benar! Jadi merupakan takdir juga kan bahwa aku harus menyerahkan jantungku? Dan tentunya kau juga harus menerima takdir itu, oppa!”
“Bisa tidak kau berhenti membicarakan hal itu?”
“Tentu saja tidak!” serunya marah.
“Ne, arasseo. Tapi tolong jangan hari ini. Jebal?”
“Ne.”
Beberapa jam kemudian aku membelokkan mobilku ke sebuah rumah mewah di daerah perkebunan teh. Aku memarkirkan mobilku di depan pintu kemudian turun membukakan pintu mobil untuk Na~ya.
“Dia galak tidak?” Tanya gadis kesayanganku itu. Ada nada gugup dalam suaranya.
“Tidak. Tenang saja,” ujarku sambil menggenggam tangannya. Berharap dia merasa sedikit tenang.
Kami masuk ke dalam rumah itu setelah seorang pelayan membukakan pintu untuk kami. Aku membawa Na~ya ke taman belakang tempat ayahku menunggu kami.
“Appa,” sapaku sopan.
Beliau berbalik. Tersenyum menatapku lalu menoleh ke arah Na~ya.
“Yeppeo,” komentarnya.
“Neomu yeppeoyo, appa,” ralatku.
“Oh, tentu saja, dia kan belahan jantungmu.”
Aku nyengir lalu menatap Na~ya yang juga sedang menatapku penuh tanya.
“Oh, itu… maksudnya… ng… begini… menurut sebagian orang, kekasih hatinya disebut belahan jiwa atau belahan hati. Tapi menurutku kau adalah belahan jantungku. Karena tanpa hati pun seseorang masih tetap bisa hidup walaupun mungkin lebih seperti mayat hidup. Sedangkan tanpa jantungmu kau hanyalah jasad tak berguna yang sudah mati. Kesimpulannya Na~ya, tanpa kau, tak ada detakan nyawa untukku.”
Dia menatapku terperangah, seakan-akan aku ini orang gila.
“Aku serius, Na~ya,” ucapku.
Dia menunduk malu lalu mengangguk.
“Ngomong-ngomong, jangan membahas masalah curare di depan ayahku. Dia tidak ingat apa-apa,” bisikku di telinganya.
“Aigoo, sepertinya ayah jadi orang ketiga di antara kalian!” seru ayahku.
Kami berdua tertawa.
“Mianhaeyo, appa!”
“Ah, ani, gwaenchana! Bagaimana kalau kita makan? Memangnya kalian tidak lapar?”
“Kau lapar tidak?” tanyaku.
“Sedikit.”
“Ya sudah! Kajja!”
Aku menarik tangannya, membimbingnya masuk ke dalam rumah. Setelah makan kami memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi kebun teh. Aku tertegun melihat matanya yang berbinar-binar senang. Bibirnya yang mungil membentuk senyuman indah saat melihat pemandangan kota yang memukau di depan kami.
“OMO, neomu yeppeoyo!” serunya sambil menatapku, membuatku mengalihkan pandangan ke arah lain.
Aku memasukkan tangan ke dalam saku agar aku tidak kehilangan kendali lalu menciumnya. Berdua saja seperti ini benar-benar membuat otakku kacau balau!
“Waeyo?” tanyanya seraya berdiri di hadapanku, menatap wajahku penasaran.
“Na… Na~ya… ng… eh… bisa tidak kau tidak terlalu dekat-dekat ke arahku?” pintaku gugup.
“Waeyo?”
“Apa kau mengerti kalau aku bilang bahwa aku ini laki-laki?”
Secercah pemahaman terlintas di wajahnya kemudian dia mengambil jarak dariku.
“Tapi aku kan tidak merayumu, oppa!” katanya heran.
“Matamu berbinar-binar dan kau tersenyum, itu membuatku sinting, kau tahu?” keluhku.
Dia tampak kaget. Masih menatapku heran.
“Masa hanya gara-gara itu saja kau bisa kehilangan kendali?”
“Kau membuatku terpesona dan hal itu sangat berbahaya. Susah sekali menahan diri untuk tidak menciummu, Na~ya.”
“Ini Minggu dan seseorang memberitahuku bahwa aku membuatnya terpesona sampai kehilangan akal! Aish, jinjja!”
“Oh, kau saja yang baru tahu.”
“Maksudmu?”
“Kau ingat malam waktu aku ke rumahmu?”
Dia mengangguk.
“Kalau aku membiarkanmu menyentuhku waktu itu, aku pasti kehilangan akal sehat dan akan menciummu detik itu juga,” akuku. “Lalu waktu di rumahku. Aku membiarkanmu menyentuhku hanya untuk mengetes seberapa dahsyat dampaknya terhadapku. Ternyata lebih parah dari yang aku duga. Aku malah hamper membunuhmu kalau aku tidak segera sadar waktu itu,” lanjutku.
Dia menatapku sesaat lalu berbalik dan duduk di atas kursi besi panjang yang langsung menghadap ke arah pemandangan kota Busan yang terhampar di bawah sana, tidak sedahsyat di malam hari sebenarnya, tapi tetap saja indah.
“1 minggu lagi tanggal 15, oppa,” ujarnya.
Aku menghempaskan tubuh ke sampingnya, menyandarkan kepalaku ke sandaran kursi dan menoleh ke arahnya.
“Kau tidak harus berkorban untukku, Na~ya.”
“Tidak ada yang dikorbankan dalam hubungan ini, oppa. aku tidak pernah mengorbankan apapun. Kau juga tidak. Karena saat mencintai seseorang, apapun yang kita berikan tidak terasa seperti berkorban. Kita tidak merasa kehilangan sesuatu. Niat memberikan sesuatu untuk pasangan datang dari hati. Dari diri sendiri. Aku tidak pernah memikirkan apa yang sudah aku berikan padamu, apa yang sudah kau berikan untukku, karena aku ikhlas.”
Aku tertegun mendengar ucapannya. Kemudian aku mengulurkan tanganku untuk menyentuh pipinya.
“Apa kau ikhlas? Kau tidak merasa rugi?”
Dia menggeleng.
“Boleh aku minta sesuatu? Mungkin berat untukmu, tapi….”
“Apa saja.”
Aku menatapnya tepat di manic mata.
“Kau tahu, kalau aku berubah menjadi manusia aku akan melupakanmu?”
Dia mengangguk.
“Satu minggu itu sangat sebentar, Na~ya, dan itu artinya waktuku untuk memilikimu juga semakin sempit. Aku belum siap kehilanganmu sekarang, tak akan pernah siap sampai kapanpun, tapi aku bisa mengumpulkan waktu sebanyak yang aku bisa dan ada 3 bulan lagi untuk itu. Aku masih ingin menatap matamu, menggenggam tanganmu… mencintaimu…. Aku ingin meminimalisir rasa sakitnya, Na~ya.”
“Kau ingin menciumku tepat tengah malam di hari ulang tahunku?” tanyanya.
Aku mengangguk. Dia benar-benar cepat tanggap.
“Tapi bagaimana kalau kau berubah pikiran lalu ingkar janji di saat-saat terakhir? Aku tidak bodoh, oppa!”
Aku mengeluh dalam hati. Dia terlalu pintar dari yang kukira.
“Aku tahu apa yang kau pikirkan, oppa. saat itu kau akan mengulur-ulur waktu, meyakinkanku bahwa kau ingin bersamaku beberapa detik lagi, lalu saat jam 12 teng kau menolak melakukannya dan aku sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Oh, ada satu kemungkinan lagi sepertinya,” tuduhnya.
“Apa?” tanyaku, membatin dalam hati, seberapa pintarnya gadis ini?
“Bisa saja di hari ulang tahunku itu kau menghilang. Atau kalaupun kau masih ingin melihatku untuk terakhir kalinya, kau akan menghampiriku. Berpura-pura seolah-olah kau setuju untuk menciumku, lalu saat hamper jam 12 kau akan menghilang entah kemana dengan kemampuan silanmu itu!”
Aku mendesah. Jenius sekali dia!
“Aku tidak bisa menolerir kebohongan, oppa!”
“Baiklah, baiklah!” seruku putus asa.
Dia tersenyum, sepertinya percaya bahwa aku sudah menyerah. Oh, benar, aku tidak bisa memikirkan hal lain untuk melarikan diri sekarang.
“Ngomong-ngomong tentang hilang ingatan, benarkah kau tidak akan mengingatku lagi?”
“Mmm…” gumamku. “Apa kau berubah pikran sekarang setelah mengetahuinya?” harapku.
“Sama sekali tidak. Lebih baik kau amnesia daripada mati. Setidaknya ada kemungkinan aku akan bertemu lagi denganmu.”
Dia berhenti sesaat, dan mendadak raut mukanya berubah menjadi penuh semangat.
“Aku bisa bertemu denganmu lagi! Seperti kau bertemu dengan ayah angkatmu!” serunya.
Aku tersenyum.
“Saat kembali menjadi manusia, aku akan berumur 2 tahun. Kembali ke masa lalu. Semestinya aku sudah berumur 19 tahun sekarang. Tapi aku sangsi apakah kau bisa menemukanku.”
“Kenapa? Aku kan bisa menggunakan keahlianku sebagai curare untuk muncul di berbagai tempat yang aku inginkan.”
Mataku berkilat menatapnya.
“Kau sepertinya salah paham dengan kemampuan itu. Kau bisa muncul di sembarang tempat yang benar-benar kau ketahui alamat lengkapnya. Kau tidak bisa hanya memikirkan orang yang ingin kau temui lalu tara… kau berada di hadapannya. Kalau bisa seperti itu dalam satu hari pun aku bisa kembali menjadi manusia.”
“Aku bisa berusaha. Setidaknya masa kau tidak tahu kau tinggal dimana waktu kecil?”
“Seingatku di Seoul. Sekilas ayahku pernah menyinggungnya.”
“Nah, beres, kan? Aku tinggal mengelilingi Seoul untuk mencarimu.”
“Aku juga hanya perlu mengelilingi Busan yang lebih kecil dari Seoul untuk mencari ayah angkatku. Tapi sayangnya aku butuh waktu 8 tahun untuk itu.”
“Selama itu?” Nada suaranya mulai kedengaran putus asa.
“Kau juga harus mencari the sweetest rose -mu, kan? Dengar, lebih cepat kau menemukannya akan lebih baik.”
“Ne, arasseo…. Tapi….”
“Mwo?”
“Aku juga akan melupakanmu saat menjadi manusia. Jadi bagaimana mungkin kita bertemu lagi? Aku takut bahkan jika kau melintas di hadapanku sekalipun aku tidak bisa mengenalimu.”
Aku menyentuh pipinya dengan kedua tanganku. Menatapnya lekat-lekat.
“Kau percaya takdir, Na~ya?”
“Mungkin,” ujarnya ragu.
“Aku percaya. Kita pasti akan bertemu lagi, karena sudah ditakdirkan begitu.”
Dia masih tidak percaya aaku bisa melihat dari tatapan matanya.
“Aku sudah menemukan tulang rusukku, itu artinya kalau tidak bersamamu, aku tidak akan menjadi sempurna. Hidup tanpamu itu artinya neraka, Na~ya. Takdirku akan selalu mengarah padamu. Kalau tidak di dunia, aku akan mengejarmu sampai ke alam baka. Kalau tidak berhasil juga, aku akan menyusulmu ke surga atau meminta kita dipersatukan di neraka.”
TBC
HYE-NA’S POV
“Aku sudah menemukan tulang rusukku, itu artinya kalau tidak bersamamu, aku tidak akan menjadi sempurna. Hidup tanpamu itu artinya neraka, Na~ya. Takdirku akan selalu mengarah padamu. Kalau tidak di dunia, aku akan mengejarmu sampai ke alam baka. Kalau tidak berhasil juga, aku akan menyusulmu ke surga atau meminta kita dipersatukan di neraka.”
Aku terpana menatapnya. Apa-apaan pria ini?
“Ini benar-benar gila!” gumamku.
“Apanya yang gila? Biasa saja,” ujarnya enteng.
Kau saja yang tidak tahu bahwa kata-katamu itu membuatku berada di antara hidup dan mati! gerutuku dalam hati.
“Na~ya?”
“Apa?”
“Bolehkah aku meminta sesuatu?” tanyanya dengan suara lembut. Senyumnya begitu membutakan.
Aku mengangguk.
“Apa saja,” ujarku, tak peduli apapun konsekuensinya. Aku hanya berharap dia tidak meminta yang aneh-aneh. Ketampanannya benar-benar tak tertahankan. Selalu saja membuatku kehilangan akal sehat.
“Bernyanyilah untukku,” pintanya.
“MWO?!” seruku terkesiap.
“Bernyanyi, Na~ya. Hanya bernyanyi. Masuk akal, kan? Aku ingin mendengar suaramu lagi.”
“Kau benar-benar gila, oppa!” tukasku.
“Benar, aku memang tergila-gila padamu,” katanya sederhana tapi langsung meluluh-lantakkan seluruh persendianku.
Dia masih menatapku penuh harap, dengan sorot mata berbinar-binar.
“Jangan komentar setelah mendengar suaraku. Kalau suaraku membuatmu tuli, tutup saja telingamu,” ujarku putus asa.
“Tidak akan terjadi,” janjinya.
“Kau lihat saja nanti!” geramku.
Aku menarik nafas. Membenci keadaan ini.
How do I get through one night without you?
If I had to live without you
What kind of life would that be?
(Bagaimana caranya aku melewati satu malam tanpamu?
Jika aku harus hidup tanpamu
Kehidupan macam apa itu?)
Oh, I need you in my arms, need you to hold
You’re my world, my heart, my soul
If you ever leave
Baby, you’d take everything good in my life…
(Aku membutuhkanmu dalam genggamanku, membutuhkanmu untuk berpegangan
Jika kau meninggalkanku
Sayang, kau akan merebut segala hal yang baik dalam hidupku…)
Without you… there will be no sun in my sky
There would be no love in my life
There would be no world left for me
(Tanpamu… tidak aka nada matahari di langitku
Tidak akan ada cinta dalam hidupku
Tak ada dunia untuk kutinggali)
And I…. Baby I don’t know what would I do
I would be lost if I lost you
If you ever leave
Baby, you would take away everything real in my life and tell me now….
(Dan aku…. Sayang, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan
Aku akan hilang jika aku kehilanganmu
Jika kau meninggalkanku
Sayang, kau akan merebut segaala hal yang nyata dalam hidupku dan sekarang beritahu aku…)
How do I live without you? I want to know
How do I breathe without you if you ever go
How do I ever, ever survive?
How do I? How do I? How do I live?
(Bagaimana caranya aku hidup tanpamu? Aku ingin tahu
Bagaimana caranya aku bernafas tanpamu jika kau pergi meninggalkanku?
Bagaimana caranya aku bisa bertahan hidup?
Bagaimana caranya? Bagaimana caranya aku bisa hidup?)
How do I go on if you ever leave?
Well, Baby, you would take away everything need you with me
Baby, don’t you know you are everything good in my life?
(Bagaimana caranya aku melanjutkan hidup jika kau meninggalkanku?
Sayang, kau akan merebut segala hal yang membuatku membutuhkanmu
Sayang, tidakkah kau tahu bahwa kau adalah segala hal terbaik dalam hidupku?)
Menurutku aku sudah menyelesaikan laguku dengan sangat baik. Tidak fals setidaknya. Aku menoleh ke arah Kyuhyun yang sedang menatapku seolah terkesima.
“Oppa?” panggilku.
Dia terkesiap sesaat lalu pandangannya mulai terfokus menatapku.
“Itu tadi luar biasa sekali, Na~ya,” ujarnya setelah berpikir untuk menemukan kata-kata yang cukup tepat.
“Maaf, sayangnya tidak ada kata yang lebih tepat. Atau kalau boleh aku ingin bilang itu benar-benar sempurna.”
Dan tiba-tiba saja dia sudah mengecup pipiku singkat.
“Terima kasih,” bisiknya. “Jika semua hal di dunia ini lenyap tapi kau ada, aku akan tetap hidup untuk mencintaimu. Tapi jika segala hal indah di dunia ini tetap bertahan sedangkan kau hilang, jagad raya akan terasa seperti neraka yang membakar setiap jengkal tubuhku. Eksistensimu Na~ya, dimanapun itu, adalah nafas bagiku.”
***
Lagi-lagi aku tak bisa tidur. Hari ini aku benar-benar seharian bersama Kyuhyun. Saling blak-blakkan tentang perasaan masing-masing. Tapi dia begitu terang-terangan mengungkapkan semuanya, membuatku benar-benar merasa sinting sekarang.
Keesokan harinya aku berangkat sekolah dengan semangat meluap-luap. Tak sabar ingin bertemu lagi dengannya. Tapi saat aku melihatnya dia malah menghampiriku dengan kesal.
“Ada apa?” tanyaku cemas.
“Kau! Aku kan sudah bilang, jangan berdandan ke sekolah! Sekarang beritahu aku, dimana kacamatamu?!” bentaknya.
Aku mendengus kesal. Susah payah aku berdandan hari ini untuk membuatnya senang, eh dia malah memarahiku seperti serigala yang mengamuk.
“Aku muak, oppa! Aku muak mendengar semua orang mencaciku di belaakang! Aku muak saat mereka bilang bahwa aku seperti seonggok sampah yang yang berjalan di samping malaikat sempurna seolah-olah aku sangat pantas berada di sampingmu! Aku ingin kita seimbang, aku ingin terlihat pantas berada di sampingmu!” teriakku lepas kontrol, tak peduli semua orang sedang menatap kami penuh minat.
Dia tertegun menatapku. Tak bisa bicara untuk beberapa saat. Dia tampak berusaha mengontrol dirinya.
“Di dunia ini, ada 99% hal yang bisa aku lakukan dengan begitu sempurna, tanpa bantuan orang lain. Tapi aku tidak bisa melakukan 1% lagi sendirian. Dan satu-satunya orang yang bisa membantuku hanya kau. Tanpa 1% itu aku tak akan pernah menjadi sempurna. Kalau ada kau, aku baru merasa benar, merasa lengkap.”
Aku menatapnya. Tak bisa bereaksi apa-apa.
“Apa kau lupa? Yang aku cintai bukan kecantikan. Yang aaku cintai sesosok wanita bernama Han HyeNa. Yang aku cintai adalah jiwanya, berikut raga yang membungkusnya. Jadi tolong, acuhkan saja ucapan orang lain tentangmu. Karena yang aku cintai itu kau, bukan mereka.”
Dia mendekatiku lalu mengecup puncak kepalaku. Aku menggigit bibirku keras-keras, menahan air mataku yang mendesak keluar.
“Maaf, aku tadi begitu kasar. Tadi itu benar-benar tidak pantas untuk dilakukan. Aku hanya tidak suka ada orang lain yang menikmati kecantikanmu selain aku,” bisiknya.
“Aku juga. Maaf kalau aku membuatmu kesal,” ujarku serak.
“Tidak ada alasan untuk membuatku marah padamu, Na~ya.”
Dari sudut mataku aku bisa melihat tatapan iri orang-orang terhadapku. Oh, ya, aku tidak akan mempedulikan mereka lagi.
***
Ji-Yoo sudah bergabung lagi bersama kami. Dia mengolok-olok pertengkaran konyol kami tadi pagi. Dia memuji penampilanku, menganggap Kyuhyun terlalu protektif terhadapku.
“Memang apa salahnya kalau dia cantik? Kau takut punya saingan?” ejeknya.
“Tidak juga. Sudah pasti aku yang menang. Namja-namja disini tidak setampan aku sayangnya,” ucapnya menyombongkan diri.
“Sedikit pun tidak,” timpalku menyetujuinya.
“Kalian sama saja!” tukas Ji-Yoo kesal.
“Oh, sudahlah,” leraiku.
Kantin ribut sekali siang ini. Mengalihkan pandangan dari dari tatapan iri murid-murid itu, aku menunduk sambil menyeruput jus jerukku.
“Bagaimana liburanmu, Ji-Yoo~a?” tanyaku penasaran.
“Oh, kalau kau tahu kau pasti akan iri padaku!” serunya dengan wajah berseri-seri.
“Apa?”
“Aku bertemu Yoo Seung-Ho dan Kimbum. Kau tahu tidak? Mereka benar-benar tampan!”
Saking bersemangatnya, Ji-Yoo nyaris melompat-lompat.
“Dimana tepatnya kau bertemu mereka?” selidikku.
“Ng… Kimbum di lokasi syuting. Tapi kalau Seung-Ho….” Ji-Yoo berhenti sesaat dengan ekspresi geli. “Aku nekat masuk ke kamarnya dan disaat yang sangat tepat. Dia sedang ganti baju! Aku hamper saja meneteskan air liur melihatnya. Bisa kau bayangkan tidak bagaimana ekspresinya waktu itu? Hahaha….”
“Apa dia memanggil seseorang untuk mengusirmu?” tanyaku geli.
“Tidak. Dia sendirian di rumah. Aku hanya iseng, jadi aku minta saja tanda tangannya lalu pergi.”
“Dia bagaimana?”
“Syok kukira,” tandas Ji-Yoo enteng.
Lalu tiba-tiba saja ekspresinya berubah panik. Dia menatap Kyuhyun, tubuhnya begitu tegang.
“Ngomong-ngomong Kyuhyun~a, aku bertemu Eun-Ji di Paris.”
Seketika wajah Kyuhyun menjadi kaku dan tubuhnya menegang. Kelihatan sangat tidak nyaman dengan pembicaraan ini.
“Kau bicara apa saja padanya?”
“Aku… kau tahu dia selalu bisa mengorek informasi apapun dari siapapun. Jadi….”
“Apa itu sudah yang terburuk?”
“Belum. Dia berencana kesini,” jawab Ji-Yoo tak enak.
“Sudah kuduga,” gumam Kyuhyun.
Merasa tidak mengerti dengan arah pembicaraan ini, aku menatap mereka berdua dengan penasaran.
“Adakah yang mau memberitahuku siapakah Eun-Ji ini?” tuntutku.
Kyuhyun menatapku, menimbang-nimbang sesaat lalu mulai menjelaskan.
“Eun-Ji ini, gadis yang dari dulu tak pernah berhenti mengejarku. Aku sudah menolaknya berkali-kali, tapi sayangnya dia benar-benar keras kepala. Dan sekarang sepertinya dia benar-benar penasaran siapa gadis yang membuatku berhasil bertekuk lutut.”
“Seberapa cantik dia?”
“Seribu kali lebih cantik dariku,” ujar Ji-Yoo, membuatku terperangah kaget.
Ji-Yoo saja sudah begitu cantik, apalagi si Eun-Ji ini. Di sampng Ji-Yoo aku seperti itik buruk rupa, kalau di samping Eun-Ji mungkin aku akan terlihat seperti gadis pengemis. Tidak. Lebih mirip nenek-nenek tua reyot kurasa.
“Tenanglah Na~ya, tidak perlu khawatir,” hibur Kyuhyun sambil mengusap-usap rambutku.
“Eun-Ji ini Hye-Na~ya, sangat ambisius. Kau tidak perlu takut Kyuhyun akan berpaling karena itu tidak mungkin. Tapi dia akan mengintimidasimu sebisa mungkin untuk meninggalkan Kyuhyun. Dia benar-benar licik, kau tahu?”
Aku menatap Ji-Yoo takut, kemudian beralih menatap Kyuhyun.
“Apa dia pernah membuatmu tertarik? Berbohonglah kalaupun iya, biar aku sedikit tenang,” pintaku.
“Tidak sedikitpun. Kalau kau melihatnya nanti, kau mungkin tidak percaya padaku, tapi aku benar-benar tidak pernah tertarik pada gadis manapun sebelumnya. Sampai kau datang.”
Aku membenamkan wajahku di dadanya, menghirup aroma tubuhnya yang harum. Dia mengusap-usap punggungku, membuat rasa nyaman menjalari seluruh tubuhku. Tapi aku belum benar-benar tenang sekarang.
Aku tak pernah memikirkan ini sebelumnya. Tak pernah memikirkan gadis-gadis di sekeliling Kyuhyun. Tak tahu bahwa ada tandingan yang sama sekali tidak tertandingi olehku. Aku benar-benar ketakutan dengan kemungkinan bahwa Kyuhyun akan menyadari kalau aku sama sekali tidak pantas untuknya kemudian memutuskan meninggalkanku. Aku bergidik memikirkan kemungkinan itu. Ini semua benar-benar mengerikan.
“Sudahlah Na~ya, kalau dia datang, kau tidak perlu dekat-dekat dengannya. Aku akan menjagamu.”
“Tidak bisa menyingkirkan kemungkinan bahwa dia juga akan….”
“Itu tidak akan pernah terjadi. Dia terikat peraturan. Dan kalaupun dia melanggarnya, aku akan memastikan dia harus melangkahi mayatku terlebih dahulu!” tegas Kyuhyun, memotong perkataan Ji-Yoo.
“Kemungkinan apa? Peraturan apa?” tanyaku bertubi-tubi.
“Ada kemungkinan dia akan membunuhmu, tapi tentu saja itu tidak bisa. Ada peraturan dalam dunia kami bahwa kami tidak boleh membunuh manusia selain the sweetest rose kami.”
“Oh, terima kasih banyak, Ji-Yoo~ya!” ujar Kyuhyun sinis.
Saking syoknya, aku malah bertanya, “Apa yang terjadi jika dia membunuhku?”
“Waktu 10 tahunnya akan dikurangi menjadi 5 tahun. Tapi sepertinya dia sama sekali tidak keberatan.”
“Apa maksudmu?”
“Dia membunuh gadis pelayan toko yang merayu Kyuhyun di depan matanya dan dia hamper saja membunuhku karena mengira aku memiliki hubungan dengan Kyuhyun,” tukas Ji-Yoo.
“APA?!” teriakku syok.
“Cukup, Ji-Yoo~ya! Satu kata lagi kau bisa membuatnya stroke!” ujar Kyuhyun marah.
“Tidak apa-apa, oppa,” kataku berusaha menenangkan diri. “Lalu kenapa dia tidak disini untuk mengikuti Kyuhyun oppa?”
“Dia cukup yakin bahwa Kyuhyun tidak akan tertarik pada wanita manapun. Tapi kali ini dugaannya keliru. Kyuhyun malah menemukanmu.”
“Dan dia benar-benar mengamuk sekarang,” gumamku.
“Aku buru-buru menghilang waktu itu saat dia bertanya dimana kami bersekolah, tapi tinggal tunggu waktu saja sepertinya.
“Lebih baik kita masuk kelas sekarang,” tukas Kyuhyun jengkel sambil menarik tanganku.
Baru beberapa langkah, Kyuhyun mendadak berhenti, sehingga aku menabrak tubuhnya dari belakang. Aku melongok dari balik bahunya, mencari tahu apa yang membuatnya seperti itu.
Lalu aku melihatnya. Bidadari yang kecantikannya tak pernah kubayangkan sebelumnya. Rambut ikalnya yang panjang tergerai sempurna di bahunya. Wajahnya… aku tak punya kata-kata yang tepat untuk menggambarkan betapa rupawannya wajah itu. Wajah yang saking cantiknya membuat kecantikan gadis lain meredup. Berada satu ruangan dengannya saja sudah membuat semua gadis meratapi keburukan wajahnya.
Kyuhyun berdiri di depanku, berusaha menghalangiku dari pandangan gadis itu. Kalau mau aku bisa saja menutupi wajahku dengan kantong plastic agar gadis itu tidak punya kesempatan mencela wajahku.
“Oppa,” sapanya dengan suara selembut beledu.
Kyuhyun hanya diam, genggamannya di tanganku semakin kuat. Suasana begitu hening, semua orang memperhatikan kami tanpa suara. Tidak ingin ketinggalan satu katapun.
Eun-Ji memiringkan kepalanya sesaat, berusaha menatap wajahku.
“Hanya seperti ini seleramu?” ejeknya merendahkan. “Dia bahkan tidak memiliki seperseribu dari kecantikanku.”
“Kecantikan sayangnya bukanlah hal yang aku agung-agungkan,” ujar Kyuhyun dingin.
“Tapi dalam teorinya, seharusnya wanita yang buruk rupa tidak pantas sekalipun disandingkan denganmu!” protesnya.
“Teori selalu berbeda dengan kenyataan, Eun-Ji~a.”
“Apa bagusnya dia?!” sergah Eun-Ji. “Tidak ada secuil pun dari dirinya yang pantas mendapat perhatian darimu!”
“Dia adalah segala hal yang aku inginkan dalam hidup, jika aku cukup tahu diri untuk memintanya kepada Tuhan.”
Wajah Eun-Ji memerah.
“Oh, begitu? Apa dia tahu kalau dia adalah….”
“Tentu saja,” potong Kyuhyun.
“Dan gadis ini rela menjadi monster untukmu?”
“Itu sayangnya sama sekali bukan urusanmu!” tukas Kyuhyun, nadanya memperingatkan. “Sudahlah Eun-Ji~a, sia-sia saja kau menggangguku. Dia hidupku sekarang. Hidupku sampai kapanpun. Dia satu-satunya gadis yang pernah dan akan mendapat perhatian lebih dariku.”
“Kau! Lihat saja nanti!” teriaknya marah sambil bergegas pergi.
Secepat kilat Kyuhyun berbalik menghadapku. Dia memegangi wajahku dengan kedua tangannya.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya cemas. Raut wajahnya tampak sangat khawatir.
Aku tak bereaksi apa-apa. Masih syok kurasa.
“Na~ya, bicaralah. Jebal.”
“Kau bilang yang paling rupawan hanya kau dan Ji-Yoo!” sungutku.
Kyuhyun tersenyum lega mendengar suaraku.
“Aku lebih suka tidak menyinggung tentangnya,” kata Kyuhyun dengan nada tidak suka.
“Gadis tercantik di dunia saja sudah mengejarmu mati-matian, apalagi yang biasa-biasa saja.”
Kyuhyun terdiam seketika.
“Oh, jadi semua gadis curare itu juga mengejarmu?” jeritku frustrasi, mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk. Berarti banyak sekali yang akan mengincar nyawaku sekarang.
“Berarti lebih baik kau menciumku besok saja. Aku tidak bisa menjamin nyawaku akan selamat sebelum aku menyelamatkan nyawamu.”
“Tidak!” ujarnya tegas. “Aku yang akan memastikan bahwa kau tidak akan tersakiti sehelai rambut pun.”
Aku menekuk wajahku kesal lalu melangkah meninggalkannya. Hari ini benar-benar melelahkan!
***
Aku berbaring gelisah di atas tempat tidurku. Besok tanggal 15 April dan pacarku yang sialan itu sama sekali tidak mau menciumku! Aku harus memikirkan cara untuk merayunya.
Pertama, aku harus menemukan saat dimana dia dan aku hanya berdua. Lalu… hah… aku tak pernah merayu namja manapun sebelumnya!
Aku sedang mendengus kesal saat tiba-tiba saja Ji-Yoo muncul di hadapanku.
“Tidak bisakah kau muncul di depan pintu rumahku lalu memencet bel?”
“Tidak. Itu terlalu menghabis-habiskan waktu,” katanya cuek.
“Memang ada hal yang begitu penting sampai kau tidak mau membuang-buang waktu sedikitpun?”
“Tidak juga. Ng… kenapa malam ini kau ada di rumah?” tanyanya tiba-tiba.
“Memangnya mau dimana lagi?”
“Kau tidak ada janji dengan Kyuhyun?”
“Tidak.”
“Kau tahu tidak ini tanggal berapa?”
“15 April. Memangnya kenapa? Kyuhyun oppa tidak ulang tahun hari ini, kan?” tanyaku kaget.
“Ya, Han Hye-Na babo, kau bukannya mau dia menciummu? Ini saatnya! Lakukan tepat jam 12 malam! Atau kau belum siap?”
“Hah, aku bahkan memikirkan cara untuk merayunya dari tadi.”
“Tunggu apalagi sekarang? Ayo cepat bersiap-siap!” serunya sambil menarik tubuhku bangun lalu mendudukkanku di depan meja rias.
“Tunggu!” protesku. “Ini sudah jam 10 malam, Ji-Yoo~ya!”
“Dan ayahmu tidak ada di rumah.”
“Tapi aku tidak punya janji dengan Kyuhyun oppa!”
“Makanya dia menyuruhku kesini untuk menjemputmu. Dia bilang ingin menghabiskan waktu berdua denganmu mala mini, tapi tidak berani mengatakannya padamu.”
“Benarkah? Tapi aku tidak punya baju yang pantas, Ji-Yoo~ya,” keluhku.
“Aku punya!” serunya girang sambil menunjukkan bungkusan di tangannya. Aku sama sekali tidak memperhatikannya dari tadi.
“Pasrah saja, oke?”
***
Дата добавления: 2015-11-14; просмотров: 58 | Нарушение авторских прав
<== предыдущая страница | | | следующая страница ==> |
KYUHYUN’S POV | | | KYUHYUN’S POV |